Senin, 30 Juni 2014

Mengesankan, Kill Ratio Su-30 dan F-15 9:1


Latihan udara sepuluh tahun lalu itu menyoroti keandalan pilot jet tempur Angkatan Udara India (IAF), efek menggunakan jet tempur Rusia dan kekurangan yang fatal dalam pola pelatihan pilot Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF).



Adalah latihan Cope India 04 antara IAF dan USAF yang diadakan di India pada 15-27 Februari 2004. Latihan tempur ini tidak hanya menjadi pemberitaan utama media-media India karena menandai awal dari babak baru hubungan bilateral antara India dan AS, tetapi juga karena pilot IAF berhasil memenangkan 90 persen pertempuran udara atas jet tempur F-15 USAF dari Wing 3 yang berbasis di Pangkalan Angkatan Udara Elmendorf, Alaska.



Hasil latihan tempur ini memang mengejutkan, entah mengapa bisa terjadi. Menurut Pentagon, beberapa keterbatasan telah menurunkan kemungkinan F-15C menang terhadap jet tempur India.



Yang pertama, kurang canggihnya radar AESA (active electronically scanned array) pada F-15 USAF. Kedua, dalam pertempuran udara F-15 tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan rudal BVR (diluar jangkauan visual). Menurut Pentagon, hal ini karena permintaan India agar USAF tidak menggunakan AMRAAM (rudal BVR). Selain itu, dalam menghadapi pilot USAF, India mengirimkan pilot yang paling berpengalaman, sedangkan armada F-15 USAF adalah skadron standar yang berarti terdiri dari campuran pilot yang berpengalaman dan kurang berpengalaman.



Apapun alasannya dan terlepas dari semua aturan latihan pertempuran udara tersebut, hasil latihan membuktikan bahwa pilot India memiliki tingkat keterampilan dan kesiapan yang baik.



Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Februari 2014 di Russia & India Report, oleh Rakesh Krishnan Simha, menyebutkan David A. Fulghum dalam laporan latihan Cope India untuk majalah Aviation Week & Space Technology yang mengutip pernyataan Kolonel Mike Snodgrass, komandan Wing-3: "Hasil dari latihan disebabkan karena mereka (IAF) menggunakan taktik yang lebih modern dari yang kami kira. Mereka sudah siap dengan taktik mereka, dan jika taktik itu tidak bekerja, mereka segera mengubahnya."

Berbicara soal kurang canggihnya radar AESA pada F-15, faktanya jet tempur yang India gunakan saat itu juga memiliki kekurangan. Jet tempur yang IAF gunakan juga tidak memiliki radar AESA yang baik karena itu adalah Sukhoi Su-30MK Flanker. Pada Cope India 04, India sengaja tidak menurunkan Su-30MKI yang faktanya lebih canggih dari Su-30MK.

Flanker tersebut juga bukan satu-satunya jenis pesawat yang mengalahkan Eagle (F-15) dalam latihan pertempuran udara tersebut. Ada juga pesawat lain yang terbukti canggih dalam Cope India 04, yaitu MiG-21 Bison, versi upgrade dari MiG-21 yang juga buatan Rusia. Visibilitas radar yang rendah, instant turn rate, akselerasi dan helmet mounted sight yang dikombinasikan dengan high-off-boresight rudal udara-ke-udara R-37 adalah beberapa diantara faktor yang membuat MiG-21 upgrade menjadi mematikan bagi Eagle.

Pada Cope India 2005, USAF mengerahkan beberapa F-16 menghadapi campuran Su-30 IAF. Namun hasil latihan juga tidak jauh berbeda dari latihan tahun sebelumnya, dengan pilot India mampu memenangkan sebagian besar pertempuran udara.

Namun menurut Simha, kinerja buruk dari pengawak jet tempur USAF selama latihan pertempuran udara adalah juga karena AS masih menggunakan taktik lama yaitu taktik era Perang Dingin. Dimana taktik GCI (ground-controlled interceptions) telah menurunkan kemampuan pilot USAF dalam situasi pertempuran udara seperti pada Cope India.



Tetapi kill ratio (rasio membunuh) 9:1 yang diraih pilot IAF atas jet tempur USAF selama Cope India 04, juga dicapai berkat keterampilan mereka, sebagaimana perwira USAF Kolonel Greg Newbech mengatakan: "Apa yang kita saksikan dalam dua minggu terakhir adalah IAF bisa bersanding dengan angkatan udara terbaik di dunia. Saya merasa kasihan pada pilot yang harus menghadapi pilot IAF atau yang meremehkannya, karena ia tidak akan pulang kerumah. Mereka (pilot IAF) membuat keputusan yang baik tentang kapan harus memulai serangan. Ada pertukaran data yang baik antar Flanker dalam pengiriman informasi. Mereka membangun gambaran (radar) yang sangat baik dari yang kami lakukan dan mampu membuat keputusan yang tepat kapan mulai masuk dan menarik keluar pesawat mereka."

Pendapat yang sama diutarakan oleh Vinod Patney, purnawirawan dan mantan wakil kepada staf IAF yang mengatakan bahwa: "Keterampilan pilot IAF selama Cope India adalah kemampuan mereka yang sesungguhnya. Kita tidak berbicara tentang pesawat tunggal. Kita berbicara tentang keseluruhan infrastruktur, sistem komando dan kontrol, radar di darat dan udara, kru teknis di lapangan, dan bagaimana Anda memaksimalkan infrastruktur itu. Di sinilah terjadi kurva pembelajaran."

Melihat hasil mengesankan yang dicapai pilot IAF, apakah ini memang karena sistem pelatihan pilot USAF yang buruk? Atau karena pilot USAF meremehkan pilot dan pesawat tempur  IAF sebelum pertempuran dogfight (jarak dekat)? Mungkin saja. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.



Kill ratio Su-30 dan F-15 yang terpaut jauh ini masih menjadi perdebatan hingga kini. Analis menyebutkan, sejak latihan tersebut, USAF berusaha mendapatkan lebih banyak F-22 Raptor. Sebagian menganggap bahwa hal ini untuk menyelamatkan muka USAF setelah pilot IAF meraih kill ratio 9:1 yang mengesankan.

Bahkan meskipun kita tidak tahu apa yang terjadi pada Cope India dan alasan apa dibalik itu, tidak dapat disangkal bahwa di atas kertas Su-27 Flanker adalah salah satu pesawat tempur terbaik di dunia.

Su-27 memiliki kelas yang sama dengan F-14 dan F-15 USAF, tetapi tidak seperti jet tempur Amerika tersebut, Su-27 bisa terbang pada sudut serang 30 derajat dan juga melakukan manuver "Pugachev Cobra".

Pada manuver Cobra, pesawat secara tiba-tiba memposisikan nose (hidung-moncong pesawat) ke atas (atau ke bawah), statis, sebelum akhirnya rebah kembali ke penerbangan biasa, manuver ini tetap mempertahankan ketinggian yang sama.


Su-27 dan manuver Cobranya terus menjadi sorotan di berbagai pameran udara dari akhir 1980 hingga pertengahan 1990 an. Sejak saat itu, manuver Flanker semakin jauh ditingkatkan. Su-30MK adalah varian Flanker yang dilengkapi dengan canard forewing dan thrust-vectoring nozzle yang menambah kelincahannya di udara.

Tapi untuk apa manuver seperti itu dalam pertempuran?



Sebuah penjelasan ditemukan di majalah Aviation Week & Space Technology (AW & ST).

Dalam artikelnya "Su-30MK Beats F-15C 'Every Time'" yang terbit pada 2002 lalu menyebutkan bahwa dalam beberapa simulasi pertempuran yang dilakukan di kompleks kubah simulasi 360 derajat di fasilitas Boeing di St Louis, dengan manuvernya Su-30 berhasil mengalahkan F-15. Note: AS juga memiliki Su-27 yang dibeli dari Ukraina.

Menurut artikel itu (yang sering dirujuk media India dalam menyoroti dugaan keunggulan Su-30 dibandingkan jet AS), seorang perwira USAF (anonim) menjelaskan bahwa dalam apabila rudal BVR (seperti AA-12 Adder) yang ditembakkan oleh Flanker tidak mengenai sasaran, maka Su-30 bisa melakukan taktik pengacauan radar F-15, dimana radar Doppler F-15 menjadi tidak efektif.

Dijelaskan AW & ST secara rinci, Flanker mampu melakukan manuver ini (Cobra) berkat kemampuannya yang bisa mengurangi kecepatan dan kemudian mendapatkan kembali kecepatannya dengan cepat. Jika pilot Flanker melakukan manuver ini dengan benar, Su-30 tidak akan tampak pada radar F-15 hingga target (F-15) berada dalam jangkauan rudal AA-11 Archer. Hal ini karena radar Doppler F-15 yang pencariannya mengandalkan pergerakan target.

Seperti yang dikatakan oleh perwira USAF anonim, taktik Flanker ini berhasil di semua simulasi pertempuran yang dilakukan, namun kekurangannya adalah hanya beberapa negara yang memiliki pilot dengan keterampilan terbang dan skenario tempur seperti itu.


Beberapa fitur unik seperti mesin yang powerfull dan aerodinamik yang luar biasa, membuat Flanker apabila diterbangkan oleh pilot yang tepat dan dengan skenario yang tepat maka akan menjadikannya sebagai petarung dogfight yang unggul dari semua pesawat Barat.

Selain itu, Su-30 bisa membawa rudal IR jarak pendek AA-11 Archer yang pada tahun 90-an adalah rudal udara-ke-udara jarak pendek terbaik di dunia karena bisa terhubung dengan sistem kontrol tembak pada helm pilot dan mampu ditembakkan pada target sampai 45 derajat dari sumbu pesawat. Kedua fitur ini tidak dimiliki oleh AIM-9M, rudal jarak pendek utama Barat kala itu, yang sekarang digantikan oleh AIM-9X Sidewinder.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar