Rabu, 11 Juni 2014

ROTFL!.. Setelah Mengamen


SUDAH dua minggu ini kami berdebar-debar. Teruskah? Ditolakkah? Disetujuikah? Tim kami bekerja keras untuk itu. Sepotong e-mail kemudian muncul tiga hari lalu: setuju!

Horeeee. Rasanya kami semua ROTFL!
Yang kami tunggu adalah ini: apakah perusahaan Amerika Serikat (AS) itu menyetujui kerja sama dengan BUMN untuk satu hal yang amat strategis. Yakni bersama-sama mengolah neutron menjadi produk kedokteran nuklir dan akhirnya kelak juga mengolahnya menjadi listrik.

Tim BUMN dipimpin Direktur Utama PT Inuki (Persero) Dr Ir Yudiutomo Imardjoko. Inuki adalah kependekan dari Industri Nuklir Indonesia, nama baru untuk PT Batan Teknologi.

Tim itu dibantu pimpinan PT INACA, anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia di AS. Lalu diperkuat Direktur Utama PT Bahana (Persero) Dwina S. Wijaya beserta anak buahnya. Bahana adalah BUMN yang bergerak di bidang keuangan.

“Kami sangat beruntung bisa mendapat persetujuan dari perusahaan di AS ini,” ujar Yudiutomo yang ahli nuklir lulusan UGM dan ahli sampah nuklir lulusan AS.

Beruntung? Saya tidak setuju dengan kata-katanya itu. Itu bukan karena beruntung.  Itu hasil dari sebuah totalitas usaha. Itu buah dari gabungan antara “keahlian, kerja keras, pantang menyerah, antifrustrasi, tekun, telaten, diiringi dengan jalan yang penuh keprihatinan”.

“Jalan penuh keprihatinan” saya masukkan di situ karena semua itu awalnya dari sikap prihatin. Prihatin karena reaktor nuklir di Serpong yang sudah tua itu sering rusak sehingga tidak bisa memproduksi neutron secara kontinu.

Direktur Utama PT Inuki (Persero) Dr Ir Yudiutomo Imardjoko
Prihatin karena reaktor itu milik lembaga negara, Batan, yang itu di luar wewenang BUMN untuk ikut mengatasi. Apalagi, PT Inuki sendiri baru saja keluar dari kesulitan keuangan yang amat panjang. Sampai-sampai Inuki harus bekerja sama dengan Mesir untuk jaga-jaga kalau reaktor Batan yang di Serpong terus mengalami gangguan.

Prihatin karena Inuki sudah telanjur mengikat kontrak untuk ekspor radioisotop ke berbagai negara yang tidak mampu membuatnya seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.

Prihatin karena membayangkan rumah-rumah sakit akan mengalami krisis radioisotop akibat tidak cukupnya bahan baku berupa neutron itu. Padahal, ilmu kedokteran sekarang sudah amat terikat dengan radioisotop untuk proses MRI dan pendeteksian berbagai penyakit.

Saya pun sempat memutuskan untuk membangun reaktor nuklir yang akan dimiliki Inuki sendiri. Apalagi, kemajuan teknologi nuklir sudah amat berbeda dengan zaman reaktor Serpong itu dibangun 30 tahun lalu.

Menurut Yudiutomo, dirinya bisa membangun reaktor yang ukurannya hanya seperlima dari yang ada di Serpong, tapi memiliki kemampuan produksi 20 kali lipatnya. Tapi, untuk mempersiapkan itu, Yudiutomo dan timnya harus mondar-mandir ke AS, Rusia, dan Eropa. Padahal, perusahaannya tidak punya uang untuk keperluan itu.

Sebagai perusahaan kecil yang baru hidup lagi, uangnya hanya pas-pasan untuk mempertahankan operasinya sehari-hari. Tidak boleh ada biaya perjalanan yang bisa mengganggu kelancaran operasi perusahaan.

Tapi, cita-cita tidak boleh kandas. Harus ada cara untuk mencapainya. Biarpun harus lewat jalan yang berliku. Untuk itu tim Inuki harus “ngamen” lebih dulu. Kebetulan BUMN memiliki program pengentasan kemiskinan di NTT melalui tanaman sorgum. Para ahli Inuki harus mau jadi penyuluh lapangan, tinggal di NTT beberapa bulan, dan membina anak-anak SMK setempat menciptakan mesin-mesin sederhana pengolahan sorgum.

Untuk itu mereka mendapatkan “upah”. Memang tidak besar, tapi bisa untuk ke Amerika. Hasil dari “ngamen” inilah yang dipakai membeli tiket untuk pergi ke sana melakukan penjajakan kerja sama membangun reaktor.

Saya sebenarnya tidak tega untuk minta para ahli yang langka itu harus “ngamen” sampai ke NTT. Tapi, saya juga percaya tidak ada jalan mudah untuk mencapai cita-cita. Saya tidak bisa memerintahkan menggunakan dana perusahaan di luar yang sudah ditentukan.

Saya juga tidak mau minta sumbangan ke BUMN lain yang besar-besar. Karena saya tahu tidak ada pos pengeluaran untuk yang demikian.

Maka, saya salut dengan tim Inuki yang mau menempuh jalan berliku ini. Sekalian tes ketahanan, pikir saya. Untuk mengejar kemajuan, harus bersedia bekerja seperti itu.
Inilah yang saya sebut “jalan keprihatinan”. Jalan itu, kalau bisa ditempuh dengan tulus, justru akan menjadi pendorong untuk tercapainya cita-cita. Ia menjadi semacam “tenaga dalam” yang memang tidak kelihatan, tapi bisa menjadi faktor utama tercapainya sebuah sukses.

Dari beberapa perjalanan ke AS, Rusia, dan Eropa itulah, akhirnya Yudiutomo menemukan sesuatu yang ternyata jauh di atas sebuah reaktor nuklir. Dia berhasil mengetahui sebuah penemuan yang masih sangat baru. Belum banyak yang tahu: untuk memproduksi neutron, tidak harus membangun reaktor nuklir! Bisa melalui fusi plasma!

Dia sendiri, sebagai anggota aktif asosiasi ahli nuklir dunia, tidak menyangka ada penemuan sehebat dan semaju itu. Memang pernah diramalkan ilmu pengetahuan akan sampai di sana. Tapi, menurut perkiraan para ahli, hal itu baru akan terjadi tahun 2050!

Setelah tahu perkembangan baru itu, target pun diubah. Bukan lagi membangun reaktor baru, melainkan bagaimana bisa menggandeng perusahaan penemu tersebut. Tapi, apa mungkin?

Yudiutomo punya kelebihan dibanding calon partner lainnya dari seluruh dunia. Dia punya keahlian untuk memproses neutron itu menjadi radioisotop dengan proses yang diizinkan kesepakatan dunia. Yakni sebuah proses yang tidak membahayakan dunia karena tidak memungkinkan berubah menjadi senjata nuklir.

Di seluruh dunia, hanya putra Indonesia Yudiutomo yang bisa melakukan itu. Perusahaan Amerika itu pun tidak bisa melakukannya. Yudi memang satu-satunya ahli nuklir di dunia yang mampu memproses neutron dan uranium dengan sistem yang tidak memungkinkan bahan itu menjadi senjata nuklir.
 
Tapi, perjuangan tentu tidak mudah. Bagaimana bisa sebuah BUMN Indonesia mengajak kerja sama penemu yang begitu hebat di Amerika. Berkali-kali saya rapat dengan Inuki dan Bahana merumuskan strateginya.

Alhamdulillah, setelah berbagai pertemuan dan diskusi (langsung maupun via e-mail) dilakukan antarnegara, tiga hari lalu jawaban itu tiba: pihak Amerika setuju. Perincian kerja samanya juga sudah disertakan.

Tanggal 16 Juni mendatang, setengah bulan lagi, penandatanganan dilakukan di Madison, Wisconsin, AS. Saya sengaja belum tuliskan banyak detail di sini karena untuk itu akan ada waktunya sendiri.

Saya benar-benar tidak setuju jika ini disebut sebuah keberuntungan. Saya lebih setuju dengan Paulo Coelho yang dalam novel-novel spiritualnya menyiratkan, justru keberuntunganlah yang selalu mencari-cari orang yang bersedia dicipratinya. Tapi sayangnya, “ia” hanya mau mencipratkannya kepada orang-orang yang kuat berjalan jauh dengan totalitas dan ketulusan penuh untuk mendatanginya! 

 

(http://www.jpnn.com) Dahlan Iskan Menteri BUMN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar