Semburat
jingga di cakrawala, memantulkan cahaya merah tembaga pada daun-daun kelapa,
air laut pantai senja dan rumpun-rumpun mega. Anginnya mendesir dingin,
menyusup diantara tabir-tabir kota gelap dan lembab. Kami sedang berada di
hotel resort itu untuk menantikan sambutan dari seorang petinggi dalam kabinet
pemerintahan Malaysia.
Sebelum
datang ke tempat itu, isteri saya dan teman-teman di KBRI berpesan agar saya
tidak berkomentar apapun dalam acara yang digelar sebagai bentuk syukuran dan
terima kasih yang mendalam dari kerajaan, atas suksesnya penyambutan kunjungan
kenegaraan Mr. President, Barack Obama. Sungguh luar biasa, kunjungan yang
telah dinanti-nanti selama bertahun-tahun ini, selain dirasakan amat
membanggakan, juga sangat penting bagi memantapkan kembali posisi Malaysia
dalam kancah hubungan internasionalnya.
Di
tengah semakin redupnya reputasi pemerintahan Najib Tun Razak, kunjungan Obama
ke Malaysia diharapkan akan mampu menjadi sebuah wahana komunikasi yang
efektif, sekaligus juga mampu menjadi media propaganda politik dalam negerinya,
untuk menegaskan kembali pada segenap rakyat Malaysia, bahwa pemerintahan sang
PM pada penggal keduanya ini, masih memiliki legitimasi lokal yang utuh dan
kuat, di samping terus adanya dukungan dan perhatian dunia internasional. Ini
merupakan anugerah terselubung di sebalik penundaan beberapa kali kunjungan
Obama ke Malaysia.
Di
tengah fenomena Asia Tenggara yang sedang tumbuh menjadi kawasan yang amat
mempesona, yang ditandai oleh adanya dinamika politik di Thailand dan
Indonesia, Malaysia menyampaikan minat dan ketertarikannya pada dunia untuk
menjadi role model bagi stabilitas politik, kesejahteraan rakyat dan
perkembangan ilmu pengetahuan di kawasan. Malaysia berharap bisa mengambil
keuntungan yang sebanyak-banyaknya, walaupun agenda yang ditawarkan terkesan
usang. Peningkatan peran aktif PBB disaat negara-negara besar mulai menjauhi
PBB, dan isu dunia yang bebas nuklir, disaat fokus dunia tidak sedang bertumpu
pada nuklir.
Satu-satunya
agenda cerdas yang patut diacungi jempol adalah kejelian Malaysia dalam melihat
peluang dalam sektor industri keuangan syariah. Amerika yang masih
tertatih-tatih dalam belenggu krisis yang dihadapinya, telah mampu dijabarkan
sebagai peluang besar yang amat menjanjikan. Malaysia telah menawarkan
pengalaman, tenaga ahli dan tentu saja potensi pasar terbesar mereka;
Indonesia..! Mereka siap membuka diri untuk kehadiran USA menjadi salah satu
pemain besar dalam industri keuangan syariah dunia.
Terlepas
dari permasalahan tersebut, Malaysia juga ternyata ingin berkeluh kesah dengan
Amerika, tentag sikap keras China yang enggan membuka pintu negosiasi bagi
kasus claim wilayah di Laut China Selatan. China bersikukuh hanya akan membuka
pintu diplomasi bagi usaha kerjasama, bukan untuk membagi-bagi wilayah
kekuasaan. Sikap ini tentu saja sangat bertentangan dengan spirit yang diusung
Kuala Lumpur. Setelah pada tahun 2003, mereka secara gemilang mampu mengambil
alih kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia berkat campur tangan
Inggris, maka sejak saat itu pula, mereka begitu yakin akan mampu menguasai
wilayah-wilayah sengketa lainnya.
Namun
apa lacur, kepongahan dan pesta kemenangan atas penguasaan pulau Sipadan dan
Ligitan, yang meninggalkan luka mendalam di seluruh benak rakyat Indonesia,
harus dibayar mahal oleh Malaysia. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2009,
secara berturut-berturut Malaysia harus menangisi lepasnya Batu Puteh ke
pangkuan Singapore, dan sebuah wilayah yang kaya akan minyak berkualitas
tinggi, Limbang, harus rela menjadi milik kesultanan Brunei Darussalam.
Ironisnya, justru Inggris jualah yang berada di balik kekalahan Malaysia.
Sebelumnya, Petronas memberikan konsesi migas pada perusahaan USA, dan Inggris
merasa keberatan karena perusahaannya gagal dalam lelang tender. Dengan
berpindahnya kepemilikan Limbang kepada Brunei, maka hak konsesi migasnya pun
akan turut berpindah.
Jika
untuk memiliki Sipadan dan Ligitan, Malaysia harus mati-matian menghadapi
Indonesia di meja perundingan, bahkan ada isu hina yang menyebut konon kerajaan
Malaysia harus menggelontorkan dana untuk pemulihan krisis ekonomi di
Indonesia, yang jumlahnya hingga mencapai lebih dari satu miliar ringgit.
Pertanyaannya
sekarang, untuk melepaskan Limbang dan Batu Puteh pula, berapa banyakkah uang
yang digondol oleh para petinggi kerajaan dan pemerintah Malaysia? Satu hal
yang sangat memalukan, bahkan lepasnya kedua wilayah teritorial tersebut,
justru tidak melalui perundingan dan perdebatan di meja mahkamah internasional.
Keduanya lepas hanya sebatas melalui sidang kabinet, bukan sidang parlemen..!
Sebuah fakta ironis yang hingga kini dipandang oleh setiap warga negara
Malaysia sebagai sebuah najis.! Hehehe..!. Sejak saat itu, keharmonisan
hubungan antara Malaysia dengan Singapore dan Brunei, kian memudar dan rapuh.
Wujud the Golden Triangle, telah berubah menjadi the Broken Triangle. Kita
ketahui kemudian Singapore kian intim di bawah ketiak induknya, dan Brunei
selain dekat dengan Inggris, juga justru dipandang Malaysia sangat menyebalkan,
karena lebih merapat ke Indonesia..!
Malaysia
menjadi seperti orang tua pikun yang ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya.
Setiap ucapannya dianggap igauan, dan cita-citanya hanya sebuah khayalan.
Kunjungan Panglima TNI ke China baru-baru ini, ternyata dinilai lebih produktif
karena mampu menghasilkan nilai-nilai strategis, jika dibandingkan dengan hasil
kunjungan Menhan Malaysia ke USA. Kenyataan ini membuat Malaysia menjadi
seperti orang yang terbangun dari tidur karena disirami air panas, kleyengan
dan tidak punya arah pikiran. Kasihan..!
Kembali
ke LCS. Sebagai negara yang over confident dengan kebesaran negerinya, Malaysia
merasa kecewa dengan sikap yang ditunjukan tetangga-tetangganya di Asean.
Philipines yang selama ini mendapatkan dukungan penuh Kuala Lumpur dalam
menghadapi konflik Moro di negaranya, justru lebih memilih beraliansi dengan
Vietnam dalam menghadapi sengketa LCS.
Akal
sehat Philipines menuntun pada kemungkinan yang lebih rumit jika mereka
memiliki hubungan yang lebih akrab dalam konflik LCS. Dia sadar, kelak Inggris
akan menggerus dan menghabisinya. Begitupun dengan Brunei yang gagal didekati.
Alih-alih mau bergabung, Brunei malah terang-terangan merapat pada Indonesia,
yang sebelumnya sukses menerapkan code of conduct untuk wilayah LCS. Brunei
merasa tidak memiliki hubungan langsung dengan konflik LCS, meskipun mereka
juga masih harus berhadapan dengan China, tapi hanya sebatas pada klaim China
terhadap secuil wilayah ZEE yang tertuang dalam the 9 dash line. Ternyata masalah
ini, sangat mirip dengan Indonesia di kawasan ZEE pulau Natuna. Untuk itu,
Brunei pun dengan segera memutuskan diri untuk segera menjadikan Indonesia
sebagai partner yang ideal. Gayung pun bersambut, 3 kapal light fregat Nakhoda
Ragam Class dilepas dengan harga yang terbilang sangat murah, bahkan terkesan
diobral. Lagi-lagi, Malaysia pun gigit jari.
Karena
sudah merasa sendirian, dengan terpaksa akhirnya Malaysia pun tebar pesona
dengan Amerika. Meskipun disadari sepenuhnya bahwa mereka tidak akan pernah
menjadi anak emas Amerika di Asia Tenggara. Point utama yang diincar Malaysia,
tiada lain, dengan adanya dukungan USA, maka bisa diharapkan akan mampu
meningkatkan bargaining power Malaysia, sehingga diharapkan juga bisa membantu
Malaysia dalam usaha menguasai sebagian atau bahkan seluruh wilayah yang sedang
dipersengketakannya di LCS.
Jika
China benar-benar hanya menginginkan kerjasama dengan negara-negara claimant,
setidaknya Malaysia bisa berharap atas jatah yang jauh lebih besar. Dengan
dinamika yang ada, seyakin apakah kita terhadap meletusnya perang terbuka di
LCS? Ingat, semua negara pemilik kuasa hak veto ada di sana. China berdiri di
utara, Perancis di Hanoi, Inggris di Malaysia dan Brunei, USA di Manila, Brunei
dan juga KL, yang terakhir, dan justru yang paling mengkhawatirkan adalah
dengan hadirnya Russia di Jakarta..!
Percaya
atau tidak, jika kelak mereka akan lebih memilih jalan kompromi, dengan prinsip
daripada buang-buang peluru, lebih baik kita jualan peluru..! Puluuuus..! Jika
dengan berbagi masih bisa hidup kenyang, kenapa kita harus mati karena
kekenyangan? Hehehe..! Ingat, 20 miliar ton minyak, dengan 8% kehidupan ikan
dunia yang ada di dalamnya, adalah jumlah yang sangat besar..! Selamat
menikmati Bung..! (by; yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 01 May 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar