Kamis, 01 Mei 2014

Dos Mujeres Un Camino, Tentang LCS



Semburat jingga di cakrawala, memantulkan cahaya merah tembaga pada daun-daun kelapa, air laut pantai senja dan rumpun-rumpun mega. Anginnya mendesir dingin, menyusup diantara tabir-tabir kota gelap dan lembab. Kami sedang berada di hotel resort itu untuk menantikan sambutan dari seorang petinggi dalam kabinet pemerintahan Malaysia.

Sebelum datang ke tempat itu, isteri saya dan teman-teman di KBRI berpesan agar saya tidak berkomentar apapun dalam acara yang digelar sebagai bentuk syukuran dan terima kasih yang mendalam dari kerajaan, atas suksesnya penyambutan kunjungan kenegaraan Mr. President, Barack Obama. Sungguh luar biasa, kunjungan yang telah dinanti-nanti selama bertahun-tahun ini, selain dirasakan amat membanggakan, juga sangat penting bagi memantapkan kembali posisi Malaysia dalam kancah hubungan internasionalnya.

Di tengah semakin redupnya reputasi pemerintahan Najib Tun Razak, kunjungan Obama ke Malaysia diharapkan akan mampu menjadi sebuah wahana komunikasi yang efektif, sekaligus juga mampu menjadi media propaganda politik dalam negerinya, untuk menegaskan kembali pada segenap rakyat Malaysia, bahwa pemerintahan sang PM pada penggal keduanya ini, masih memiliki legitimasi lokal yang utuh dan kuat, di samping terus adanya dukungan dan perhatian dunia internasional. Ini merupakan anugerah terselubung di sebalik penundaan beberapa kali kunjungan Obama ke Malaysia.

Di tengah fenomena Asia Tenggara yang sedang tumbuh menjadi kawasan yang amat mempesona, yang ditandai oleh adanya dinamika politik di Thailand dan Indonesia, Malaysia menyampaikan minat dan ketertarikannya pada dunia untuk menjadi role model bagi stabilitas politik, kesejahteraan rakyat dan perkembangan ilmu pengetahuan di kawasan. Malaysia berharap bisa mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, walaupun agenda yang ditawarkan terkesan usang. Peningkatan peran aktif PBB disaat negara-negara besar mulai menjauhi PBB, dan isu dunia yang bebas nuklir, disaat fokus dunia tidak sedang bertumpu pada nuklir.

Satu-satunya agenda cerdas yang patut diacungi jempol adalah kejelian Malaysia dalam melihat peluang dalam sektor industri keuangan syariah. Amerika yang masih tertatih-tatih dalam belenggu krisis yang dihadapinya, telah mampu dijabarkan sebagai peluang besar yang amat menjanjikan. Malaysia telah menawarkan pengalaman, tenaga ahli dan tentu saja potensi pasar terbesar mereka; Indonesia..! Mereka siap membuka diri untuk kehadiran USA menjadi salah satu pemain besar dalam industri keuangan syariah dunia.

Terlepas dari permasalahan tersebut, Malaysia juga ternyata ingin berkeluh kesah dengan Amerika, tentag sikap keras China yang enggan membuka pintu negosiasi bagi kasus claim wilayah di Laut China Selatan. China bersikukuh hanya akan membuka pintu diplomasi bagi usaha kerjasama, bukan untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan. Sikap ini tentu saja sangat bertentangan dengan spirit yang diusung Kuala Lumpur. Setelah pada tahun 2003, mereka secara gemilang mampu mengambil alih kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia berkat campur tangan Inggris, maka sejak saat itu pula, mereka begitu yakin akan mampu menguasai wilayah-wilayah sengketa lainnya.

Namun apa lacur, kepongahan dan pesta kemenangan atas penguasaan pulau Sipadan dan Ligitan, yang meninggalkan luka mendalam di seluruh benak rakyat Indonesia, harus dibayar mahal oleh Malaysia. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2009, secara berturut-berturut Malaysia harus menangisi lepasnya Batu Puteh ke pangkuan Singapore, dan sebuah wilayah yang kaya akan minyak berkualitas tinggi, Limbang, harus rela menjadi milik kesultanan Brunei Darussalam. Ironisnya, justru Inggris jualah yang berada di balik kekalahan Malaysia. Sebelumnya, Petronas memberikan konsesi migas pada perusahaan USA, dan Inggris merasa keberatan karena perusahaannya gagal dalam lelang tender. Dengan berpindahnya kepemilikan Limbang kepada Brunei, maka hak konsesi migasnya pun akan turut berpindah.

Jika untuk memiliki Sipadan dan Ligitan, Malaysia harus mati-matian menghadapi Indonesia di meja perundingan, bahkan ada isu hina yang menyebut konon kerajaan Malaysia harus menggelontorkan dana untuk pemulihan krisis ekonomi di Indonesia, yang jumlahnya hingga mencapai lebih dari satu miliar ringgit.

Pertanyaannya sekarang, untuk melepaskan Limbang dan Batu Puteh pula, berapa banyakkah uang yang digondol oleh para petinggi kerajaan dan pemerintah Malaysia? Satu hal yang sangat memalukan, bahkan lepasnya kedua wilayah teritorial tersebut, justru tidak melalui perundingan dan perdebatan di meja mahkamah internasional. Keduanya lepas hanya sebatas melalui sidang kabinet, bukan sidang parlemen..! Sebuah fakta ironis yang hingga kini dipandang oleh setiap warga negara Malaysia sebagai sebuah najis.! Hehehe..!. Sejak saat itu, keharmonisan hubungan antara Malaysia dengan Singapore dan Brunei, kian memudar dan rapuh. Wujud the Golden Triangle, telah berubah menjadi the Broken Triangle. Kita ketahui kemudian Singapore kian intim di bawah ketiak induknya, dan Brunei selain dekat dengan Inggris, juga justru dipandang Malaysia sangat menyebalkan, karena lebih merapat ke Indonesia..!

Malaysia menjadi seperti orang tua pikun yang ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. Setiap ucapannya dianggap igauan, dan cita-citanya hanya sebuah khayalan. Kunjungan Panglima TNI ke China baru-baru ini, ternyata dinilai lebih produktif karena mampu menghasilkan nilai-nilai strategis, jika dibandingkan dengan hasil kunjungan Menhan Malaysia ke USA. Kenyataan ini membuat Malaysia menjadi seperti orang yang terbangun dari tidur karena disirami air panas, kleyengan dan tidak punya arah pikiran. Kasihan..!

Kembali ke LCS. Sebagai negara yang over confident dengan kebesaran negerinya, Malaysia merasa kecewa dengan sikap yang ditunjukan tetangga-tetangganya di Asean. Philipines yang selama ini mendapatkan dukungan penuh Kuala Lumpur dalam menghadapi konflik Moro di negaranya, justru lebih memilih beraliansi dengan Vietnam dalam menghadapi sengketa LCS.

Akal sehat Philipines menuntun pada kemungkinan yang lebih rumit jika mereka memiliki hubungan yang lebih akrab dalam konflik LCS. Dia sadar, kelak Inggris akan menggerus dan menghabisinya. Begitupun dengan Brunei yang gagal didekati. Alih-alih mau bergabung, Brunei malah terang-terangan merapat pada Indonesia, yang sebelumnya sukses menerapkan code of conduct untuk wilayah LCS. Brunei merasa tidak memiliki hubungan langsung dengan konflik LCS, meskipun mereka juga masih harus berhadapan dengan China, tapi hanya sebatas pada klaim China terhadap secuil wilayah ZEE yang tertuang dalam the 9 dash line. Ternyata masalah ini, sangat mirip dengan Indonesia di kawasan ZEE pulau Natuna. Untuk itu, Brunei pun dengan segera memutuskan diri untuk segera menjadikan Indonesia sebagai partner yang ideal. Gayung pun bersambut, 3 kapal light fregat Nakhoda Ragam Class dilepas dengan harga yang terbilang sangat murah, bahkan terkesan diobral. Lagi-lagi, Malaysia pun gigit jari.

Karena sudah merasa sendirian, dengan terpaksa akhirnya Malaysia pun tebar pesona dengan Amerika. Meskipun disadari sepenuhnya bahwa mereka tidak akan pernah menjadi anak emas Amerika di Asia Tenggara. Point utama yang diincar Malaysia, tiada lain, dengan adanya dukungan USA, maka bisa diharapkan akan mampu meningkatkan bargaining power Malaysia, sehingga diharapkan juga bisa membantu Malaysia dalam usaha menguasai sebagian atau bahkan seluruh wilayah yang sedang dipersengketakannya di LCS.

Jika China benar-benar hanya menginginkan kerjasama dengan negara-negara claimant, setidaknya Malaysia bisa berharap atas jatah yang jauh lebih besar. Dengan dinamika yang ada, seyakin apakah kita terhadap meletusnya perang terbuka di LCS? Ingat, semua negara pemilik kuasa hak veto ada di sana. China berdiri di utara, Perancis di Hanoi, Inggris di Malaysia dan Brunei, USA di Manila, Brunei dan juga KL, yang terakhir, dan justru yang paling mengkhawatirkan adalah dengan hadirnya Russia di Jakarta..!

Percaya atau tidak, jika kelak mereka akan lebih memilih jalan kompromi, dengan prinsip daripada buang-buang peluru, lebih baik kita jualan peluru..! Puluuuus..! Jika dengan berbagi masih bisa hidup kenyang, kenapa kita harus mati karena kekenyangan? Hehehe..! Ingat, 20 miliar ton minyak, dengan 8% kehidupan ikan dunia yang ada di dalamnya, adalah jumlah yang sangat besar..! Selamat menikmati Bung..! (by; yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 01 May 2014).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar