KOMPAS.com – Sudah 45 tahun
masalah di Papua, baik itu di Provinsi Papua maupun Papua Barat, tak kunjung
selesai. Salah satu yang menonjol adalah masalah keamanan. Data dari Indonesia
Police Watch, selama tahun 2013, ada 19 orang tewas, terdiri dari 8 tentara, 1
polisi, dan 10 warga. Sebelumnya, tahun 2009-2012 ada 67 orang tewas terdiri
atas rakyat dan aparat.
Pemerintah
berkali-kali mengatakan, pendekatan solusi yang dilakukan adalah pendekatan menyeluruh atau
komprehensif. Artinya, yang
diatasi tak hanya melulu aspek yang bermasalah, dalam hal ini keamanan, tetapi
juga aspek lain seperti politik dan ekonomi.
Namun, dalam
kenyataannya, masalah ini tak kunjung selesai. Salah satu unsur penting dan
perlu segera dibenahi adalah profesionalisme aparat keamanan. Rumor tentang
oknum tentara yang tidak profesional masih terdengar, mulai dari menyelundupkan
kayu sampai melakukan kekerasan pada rakyat.
KSAD Jenderal
Budiman, Selasa (6/5/2014) lalu memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat
luar biasa kepada 48 prajurit, beberapa di antara mereka bertugas di Papua.
Penghargaan diberikan karena para prajurit itu telah bekerja melampaui tugas
dan tanggung jawab utamanya.
Budiman mengakui
masih ada prajurit yang nakal. Penghargaan ini sekaligus juga sebagai motivasi
agar prajurit menjadi semakin baik.
Menurut mantan
Kepala Staf Umum TNI Letjen (Purn) J Suryo Prabowo dalam bukunya Operasi Lawan
Insurjensi Bukan Hanya Operasi Militer, profesionalisme tentara adalah hal
mutlak dalam penyelesaian konflik di Papua. Ia mengatakan, masalah Papua adalah
masalah sangat kompleks yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan
semata. Namun, pendekatan keamanan dari tentara-tentara profesional adalah
keniscayaan.
Dalam
pelaksanaannya, hal ini tak mudah. Salah satu operasi militer di Papua adalah
operasi tempur. Operasi tempur di Papua harus sesuai dengan karakteristik
kelompok bersenjata insurjen (sempalan) di Papua.
Ada banyak kendala
memang, yang terlihat dari banyaknya aparat yang tewas. Namun, ada juga
prestasi, seperti oleh Serka Ridwan Sihotang, prajurit Kopassus di Yonif 751
Puncak Jaya.
Setelah terjadi
pencurian senjata Polri oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin
Tenggah Mati, tim dari Yonif 751 menggelar operasi pengejaran pada Februari
2014. Perjalanan 14 jam, diakui Ridwan, berat. ”Kami hanya bisa bergerak maju
500 meter dalam 1 jam,” kata Ridwan yang berhasil merebut senjata dalam
pertempuran dengan OPM.
Taktik Narin dan
Musa
Selain operasi
tempur, operasi lain yang sama pentingnya adalah operasi teritorial. Operasi
teritorial dinilai berhasil jika militer berhasil menggandeng dan mengambil
hati masyarakat, bahkan OPM, untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Hal ini dilakukan Serka Narin Wonda dan Sertu Musa
Tabuni, keduanya aparat di Koramil 07 Tion, Kodim 1702
Jayawijaya. Narin dan Musa, pada Juni 2013 lalu membujuk tujuh anggota OPM untuk turun ke kota.
Bujukan ini berhasil sehingga kepala
OPM Engga Kiwo itu sekarang bertugas menjadi anggota satpol pamong praja.
Awalnya, Narin
mendapat informasi dari masyarakat Kampung Tigemuli, Distrik Malagineri,
Kabupaten Lanny Jaya, Papua, tentang kehadiran OPM yang berpistol. Hal ini
disampaikan kepada atasannya. Narin lalu diperintahkan untuk membujuk para OPM
itu.
”Saya bilang kepada
mereka supaya turun. Tidak usah di hutan terus. Kamu tidak makan nasi, kamu
tidak dapat uang,” kata Narin yang naik gunung dengan bermodalkan 10 bungkus
rokok untuk bertemu dengan anggota OPM.
Narin mengatakan,
ia berani datang dengan baju sipil karena punya bahasa yang sama, yaitu bahasa
suku Dani. Narin juga meminjam babi dari rakyat distrik untuk mengajak para OPM
makan. Setelah makan babi, merokok, dan makan pinang selama lebih kurang tiga
hari, barulah Narin mengutarakan maksudnya. Setelah beberapa kali melakukan
pembicaraan barulah anggota OPM itu mengaku punya pistol.
Keberadaan dan
kerja tentara profesional adalah mutlak dalam penyelesaian konflik di Papua.
Suryo Prabowo dalam pengantar bukunya tersebut mengatakan, walau kecil,
kehadiran insurjensi yang tak kunjung padam bisa dengan mudah menduniakan
ide-ide separatisnya.
Hal ini berarti
kebijakan politik, bahkan hati seluruh bangsa harus diletakkan di Papua. Narin
saja membeli rokok dan babi dengan uang sendiri, untuk OPM. Sementara Ridwan
bercerita tentang makanan yang kerap terlambat. Kalau pemerintah dan TNI bisa
dengan gagah mengirimkan pasukan terbaiknya ke ke misi-misi perdamaian PBB
dengan penuh bekal sosial dan fasilitas, kenapa tidak ke Papua? (Edna C Pattisina, kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar