Sebelum
tahun 2012, boleh dibilang lini sista rudal udara ke udara (AAM/air to air
missile) yang dimiliki TNI AU cukup inferior bila dibandingkan AU
Singapura dan AU Malaysia. Pasalnya hampir tiga dekade, armada jet tempur TNI AU hanya bersandar pada rudal Sidewinder buatan Raytheon.
Adapun versi Sidewinder
yang dimiliki TNI AU adalah AIM-P2 dan AIM-P4. Yang paling baru pun,
AIM P-4 dibeli bersamaan dengan paket pengadaan F-16 Fighting Falcon di tahun
1989. AIM-P4 dapat ditembakan meski pesawat musuh datang dari depan dalam posisi
berhadapan, menjadikan perubahan gaya dalam duel jarak dekat (dog fight).
Di
saat yang sama, Negeri Jiran sudah mengoperasikan AAM jarak menengah, AIM-7
Sparrow dan AIM-120 AMRAAM, yang disebut terakhir adalah jenis beyond visual
range air to air missile, AMRAAM sontak menjadi momok yang menakutkan dalam
perang udara modern, rudal ini dapat melesat hingga 70 km dengan kecepatan 4
Mach. Untuk yang satu ini, meski baru datang agak telat, patut disyukuri TNI AU
kini punya tandingannya,yakni rudal R-77 untuk armada Sukhoi, rudal besutan
Rusia ini sanggup melesat dengan kecepatan 4 Mach hingga jarak 80 km.
Nah,
kembali ke lini rudal udara ke udara jarak pendek, saat jet andalan TNI AU F-16
Fighting Falcon dan Hawk 200 hanya punya satu andalan AIM-P4 Sidewinder, maka
Singapura dan Malaysia selain sudah memboyong AIM-7 Sparrow dan AIM-120 AMRAAM,
kedua negara tetangga Indonesia ini pun sudah punya versi
Sidewinder yang lebih baru. Seperti
Singapura, karena negara ini adalah sekutu dekat AS di Asia Tenggara,
Singapura selain punya AIM-9J/P/S Sidewinder, juga sudah punya AIM-9X
Sidewinder untuk memperkuat sista di jet F-15SGEagle. Begitu juga dengan Malaysia yang
turut membeli AIM-9X untuk F/A-18 Hornet-nya.
AIM-9X
merupakan versi paling anyar dari keluarga Sidewinder, rudal ini mulai
dikembangkan pada tahun 1986. Rudal ini punya kemampuan first shot and first
kill yang lebih responsive. Bahkan rudal ini dilengkapi thrust vectoring yang
terhubung ke guidance fins, artinya rudal dapat mengejar target yang berbelok
sekalipun. Radius putar AIM-9X mencapai 120 meter, dengan kemampuan ini, pesaswat
peluncur tak perlu melakukan manuver untuk menyesuaikan dengan target.
R-73
Kedatangan secara bertahap jet Sukhoi Su-27 dan Su-30 Flanker membawa banyak harapan pada adopsi alutsista, termasuk di lini rudal. Tapi nyatanya, karena keterbatasan anggaran, sejak kedatangan Sukhoi gelombang pertama pada tahun 2003, maka baru sekitar tahun 2012 armada Sukhoi Skadron Udara 11 ini dibekali sista berupa rudal. Selama hampir 10 tahun, Sukhoi hanya dibekali kanon internal dan bom buatan lokal. Sungguh komposisi senjata yang amat memprihatinkan, mengingat tantangan tugas yang berat.
Kedatangan secara bertahap jet Sukhoi Su-27 dan Su-30 Flanker membawa banyak harapan pada adopsi alutsista, termasuk di lini rudal. Tapi nyatanya, karena keterbatasan anggaran, sejak kedatangan Sukhoi gelombang pertama pada tahun 2003, maka baru sekitar tahun 2012 armada Sukhoi Skadron Udara 11 ini dibekali sista berupa rudal. Selama hampir 10 tahun, Sukhoi hanya dibekali kanon internal dan bom buatan lokal. Sungguh komposisi senjata yang amat memprihatinkan, mengingat tantangan tugas yang berat.
Dan
seperti sudah banyak diulas, TNI AU kini sudah secara nyata menampilkan
kombinasi rudal yang dibeli dari Rusia. Terdiri dari rudal udara ke udara dan
rudal udara ke permukaan. Lini rudal udara ke permukaan (ASM), yaitu Kh-31P dan Kh-29TE. Keduanya telah kami kupas di artikel
sebelumnya. Sementara di lini rudal udara ke udara, TNI AU memboyong R-77 dan
R-73.
Khusus
mengupas R-73 (AA-11 Archer – dalam kode NATO), bisa disebut inilah rudal yang
punya komparasi full dengan Sidewinder. Bila Sidewinder menjadi lambang
supremasi AAM jarak dekat AS dan NATO, maka R-73 pun menjadi andalan sejak era
Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Dan, serupa dengan Sidewinder, R-73 pun terdiri
dari beragam varian, karena rudal ini sejatinya bukan produk yang baru-baru
amat.
Sebagai
peninggalan Perang Dingin, R-73 pertama kali dikembangkan pada tahun 1973 oleh
Vympel NPO. Dan setelah lewat serangkaian uji, R-73 mulai digunakan oleh AU
Soviet pada tahun 1982. Serupa dengan Sidewinder, R-73 juga mengincar panas
yang dihasilkan target, yakni dengan pemandu sensor infra merah (infra red
guided) all aspect. Ini artinya R-73 dapat menghajar target dari beragam
sudut dan posisi. Rudal ini dipersiapkan untuk meladeni dog fight paling berat
sekalipun, yaitu hingga level 12G, tidak itu saja, R-73 secara teori dapat
dioperasikan dari segala kondisi cuaca, dan hebatnya lagi rudal ini sudah anti
jamming.
Serupa
dengan AIM-9X Sidewinder, R-73 dapat diintegrasikan dengan helm pilot,
memungkinkan pilot untuk membidik sasarannya dengan hanya melihatnya saja. R-73
ditenagai oleh sebuah mesin roket berbahan bakar padat (solid fuel rocket
engine). Untuk bermanuver, R-73 memiliki empat sirip kontrol yang terletak
di bagian depan serta stabilizer di bagian belakang sayap. Tak kalah
dengan Sidewinder terbaru, R-73 juga memiliki thrust-vectoring yang
memungkinkannya untuk melakukan manuver paling ekstrim sekalipun.
R-73
yang saat ini diproduksi oleh Tbilisi Aircraft Manufacturing dapat menguber
sasaran hingga kecepatan 2.5 Mach. Dari berat totalnya yang 105 kg, 7,4 kg di
dalamnya berupa hulu ledak. Bagaimana dengan soal jangkauan? Untuk yang satu
ini R-73 punya perbedaan antar varian. Untuk tipe R-73E (20 km), R-73M1 (30
km), dan R-73M2 (40 km). Manakah diantara ketiganya yang dimiliki Indonesia?
Jawabannya masih harus menunggu konfirmasi pihak TNI AU. Besar harapan kita,
yang dimiliki TNI AU adalah versi R-73M1/M2, sebab rudal yang dikembangkan
sejak 1994 ini telah ditingkatkan kemampuan IRCCM (Infra red counter-counter
measure), selain sistemnya sudah full digital.
Berapakan
R-73 yang dimiliki TNI AU? Menurut laporan SIPRI (Stockholm International Peace
Research Institute), lembaga independen internasional yang didedikasikan untuk
penelitian konflik, persenjataan, pengawasan senjata dan perlucutan senjata
yang bermarkas di Swedia. Disebutkan, pada tahun 2011 tercatat transaksi
pengadaan 75 unit R-73 oleh Indonesia. Tapi jangan anggap Indonesia jadi paling
superior dengan R-73, sebab lagi-lagi AU Malaysia (TUDM) lebih dulu kedatangan
R-73 untuk melengkapi sista Sukhoi Su-30 MKM-nya. Selain Malaysia, Vietnam pun
mengadopsi rudal ini.
Kilas
balik ke masa keemasan militer Indonesia di tahun 60-an, AURI (TNI AU-kini)
sebenarnya juga sudah memiliki rudal udara ke udara jarak dekat yang cukup
canggih pada masanya. Rudal ini tak lain adalah K-13 buatan Vympel dari Uni
Soviet. Pada awal kehadiran MiG-21
di Tanah Air, K-13 menjadi ikon senjata utama yang tak terpisahkan
dari MiG-21
Fishbed dalam gelar operasi Trikora.
K-13,
dalam koden NATO disebut AA-2 Atoll, tak lain dalah rudal jarak dekat dengan
jangkauan maksimum 8 Km. Yang paling menarik, desain dan konsep rudal ini
memang menyadur Sidewinder, rudal legendaris milik AS. Menurut kisah yang
beredar luas, pada 28 September 1958, sebuah AIM-9B yang ditembakkan dari
sebuah F-86 Sabre Taiwan dengan target sebuah MiG-17
Republik Rakyat Cina tetapi tidak. Rudal tersebut hanya menancap di ekor
pesawat MiG dan dibawa kembali ke pangkalan dan menjadi contoh pengembangan
rudal Uni Soviet. Lebih detail tentang K-13 TNI AU, dapat Anda klik ini di
artikel ini. (Gilang Perdana).
Spesifikasi
R-73
Manufaktur : Vympel dan Tblisi Aircraft Manufacturing
Berat : 10 kg
Berat hulu ledak : 7,4 kg
Panjang : 2,9 meter
Diameter : 17 centimeter
Wingspan : 51 centimeter
Kecepatan : 2.5 Mach
Jangkauan Maks : 40 km
Tenaga : solid fuel rocket engine
Manufaktur : Vympel dan Tblisi Aircraft Manufacturing
Berat : 10 kg
Berat hulu ledak : 7,4 kg
Panjang : 2,9 meter
Diameter : 17 centimeter
Wingspan : 51 centimeter
Kecepatan : 2.5 Mach
Jangkauan Maks : 40 km
Tenaga : solid fuel rocket engine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar