Minggu, 20 April 2014

Blunder Singapura Jilid Dua

Drama jurnalistik berjudul KRI Usman Harun terjadi sepanjang tiga hari menjelang Paskah 18 April 2014. Kali ini  lakon utamanya adalah sebuah saluran televisi Channel News Asia Singapura yang menghadirkan pria berbintang empat dan ganteng, orang nomor satu di jajaran militer Indonesia, Jenderal Moeldoko. Panglima militer RI itu tiba-tiba jadi bintang pemberitaan dan “divonis” lewat terjemahan bahasa Inggris yang tak sesuai, bahwa Indonesia meminta maaf atas penamaan KRI Usman Harun kepada Singapura.

Wawancara salah terjemahan yang ditayangkan tanggal 15 April 2014 itu lalu direspons oleh Menhan Singapura Ng Eng Hen dalam hitungan jam.  Dia bilang, Singapura menyambut baik permintaan maaf Indonesia dan bersedia memulai kembali kerjasama militer kedua negara. Sambutan positif Singapura itu adalah keterkecohan April Mop dan menjadi blunder lanjutan.  Respon cepat ini menunjukkan sikap ketergesaan Menhannya pada sebuah pemberitaan media setempat.

Beberapa waktu lalu Menlu Singapura K. Shanmugam telah membuka front keangkuhan negaranya dan merasa keberatan dengan penamaan sebuah kapal perang pemukul Indonesia yang baru yaitu KRI Usman Harun.  Karena menurut mereka 2 orang KKO Indonesia itu dianggap teroris di negaranya, melakukan sabotase di Orchard 10 Maret 1965.  Indonesia telah memberikan penghargaan pahlawan langsung kepada keduanya manakala jenazahnya tiba di Jakarta tanggal 20 Oktober 1968. Dan PM Singapura waktu itu Lee Kuan Yew telah pula menziarahinya tahun 1973 sebagai bentuk pengakuan kepahlawanan mereka.  Artinya persoalan emosi nasional kedua bangsa selesai.

Pernyataan Menlu Shanmugam itu kita anggap blunder diplomatik karena tidak memahami persepsi kebangsaan yang dimiliki tiap bangsa di muka bumi ini. Lebih penting dari itu dia tidak paham dengan jalan cerita sejarah dalam konteks “waktu itu”.  Negeri mungil yang sejahtera itu berupaya mendikte Indonesia tetapi sekali ini mendapat perlawanan total football dari seluruh jajaran pemerintahan, parlemen dan rakyat Indonesia. 

Seorang Menlu yang membawahi seluruh diplomatnya dan cermin wajah kecerdasan diplomatik Singapura mesti memahami persepsi kebangsaan pada apa yang disebut nilai-nilai kepahlawanan. Tapi ketika kita bicara sejarah Singapura kita pun baru “paham” karena memang mereka memang tak punya pahlawan patriotik dan taman makam pahlawan.

Akurasi pemberitaan seorang reporter dalam menulis atau menyampaikan sesuatu haruslah dicermati lebih dulu sebelum ditayangkan atau diterbitkan. Banyak reporter kita hanya berlomba mengejar “terbitnya berita” tanpa kedalaman kecermatan isi berita. Beberapa wartawan kita yang meliput Kemhan dan TNI ada yang tak paham dengan “istilah militer”  ketika dia ikut merekam atau bertanya kepada figur petinggi Kemhan dan militer RI. 

Masih ingat nama pesawat tempur Super Tucano disebut Super Volcano dan menjadi running text layar kaca. Lalu ditulis pula bahwa Indonesia telah memiliki kapal selam Scorten padahal maksudnya yang punya kapal selam Scorpene itu Malaysia. Sudah salah tulis nama kapal selam, nama yang mempunyai kapal selam salah pula. Benar-benar konyol. Ada juga yang tidak bisa membedakan jet tempur A4 Skyhawk dengan Hawk.  Pernah juga presenter berita sebuah TV swasta menganggap Sucad itu adalah senjata Sukhoi, padahal itu istilah singkatan dari kata suku cadang.  Lebih parah lagi kata itu dibaca “Sukad” dan diulang berkali-kali.

Wawancara Panglima TNI dengan Channel News Asia dilakukan dengan bahasa Indonesia baru diterjemahkan dalam bahasa Inggris.  Orang Indonesia kan kalau bicara selalu mengedepankan suasana rendah hati.  Jadi kalimat “mohon maaf” atau “maaf ya” selalu mendahului dari maksud kalimat utama. Ada juga beberapa makna kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah selalu memiliki makna tak selaras.  Dalam bahasa Jawa yang sekarang sedang hot dibicarakan “aku rak popo” kalau diartikan tersurat artinya aku tak apa-apa.  Tapi dalam kultur Jawa kalimat ini merupakan ungkapan kepedihan dan bertentangan dari maksud yang terucap.

Blunder media dan respon pemerintah Singapura terhadap wawancara TV itu tidak perlu jua kita tanggapi secara berlebihan. Cukup saja bilang: “aku rak popo”  atau “oh ndak papa”.  Kalimat ini pun kalau dia paham pasti merupakan kalimat sindiran yang artinya “ makanya jangan merasa hebat, jago mendikte akhirnya isin dewe”.  Kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris bisa jadi gak karuan.  Itulah kekayaan bahasa Indonesia dan kultur pendukungnya.

Singapura itu sejatinya sedang gelisah pada jati diri dan eksistensinya yang selalu merasa terancam terutama pada dua jirannya Indonesia dan Malaysia.  Jadi orang yang gelisah itu pasti sensitif.  Kegelisahan dia boleh jadi karena militer Indonesia mulai menggeliat, ekonomi tumbuh pasti, kekuatan ekonomi dalam sebutan PDB kita menjulang di 15 besar dunia jauh mengungguli Singapura dan negara ASEAN lainnya.

Dia lalu membayangkan Indonesia 10 sd 20 tahun ke depan, militernya jadi macan, ekonominya jadi beruang, rakyatnya makin sejahtera dalam bingkai nasionalis yang kuat.  Tiga indikator ini yang membuat negeri itu galau meski pun kesejahteraan mereka masih tetap menjulang tak tertandingi di rantau ASEAN.  Kehadiran batalyon Marinir di Batam menambah was-was itu. Apalagi misalnya kita letakkan MLRS Astross dan Caesar Nexter di Batam.

Jadi, tetaplah kita berjalan tegak.  Isian alutsista terus kita perbanyak.  Kalau nanti kafilah 3 kapal perang “Bung Tomo Class” yang salah satunya bernama KRI Usman Harun tiba di tanah air Juli tahun ini kita sambut dengan pekik kebangsaan tapi tak usah berteriak berlebihan. Dan kalau pun tetangga sebelah Batam itu bertanya mengapa kita berteriak  kita jawab saja : Aku rak popo.
****



Jagvane / 19 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar