Kompasiana
(MI) : Atambua,
kota kecil yang berada di ujung timur provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi
tempat singgah para eks rakyat pro integrasi Indonesia-TimTim. Sekarang ini
melihat kondisi perbatasan NKRI selalu identik dengan keterbelkangan dan
merujuk ke citra sebagai kawasan daerah tertinggal. Dengan segala keterbatasan
dan kekurangan yang ada di daerah tersebut, sangat jauh berbeda dengan gemerlap
indah kota besar di Indonesia, katakanlah Surabaya. Kondisi alam yang berada
jauh dari hingar bingar kemewahan kota besar membuat kota Atambua menjadi
tempat yang sering terlupakan. Kemiskinan, keterbelakangan dan jauh dari kata
sejahtera adalah gambaran yang selalu melekat untuk mendeskripsikan bagaimana
keadaan kota Atambua dari dulu hingga saat ini.
Kesejahteraan
seolah menjadi isu yang kian disoroti khususnya untuk daerah perbatasan, karena
sebagai daerah yang bisa dikatakan terluar dan tertinggal nyaris membuat
pemerintah terkadang kurang memperhatikan. Isu lain yang perlu disoroti adalah
terkait dengan nasionalisme dan kebangsaan, selalu menjadi kekhawatiran bagi
keutuhan NKRI apabila mendengar hal ini. Sebagai daerah yang berbatasan
langsung dengan Negara tetangga yang dulu pernah menjadi bagian dari provinsi Indonesia
(Timor Leste), maka perlu adanya pemahaman nasionalisme dan perhatian dari
pemerintah agar tidak ada kecemburuan akan perbandingan kesejahteraan antara
kedua sisi Negara tersebut. Hal yang perlu diketahui kita bersama, adalah bahwa
dengan adanya kehidupan yang berbeda antara Indonesia dengan Timor Leste
sebenarnya warga yang hidup di Atambua merupakan eks warga TimTim yang masih
memiliki ikatan kekeluargaan serta adat istiadat yang masih kuat. Dengan masih
eratnya adat istiadat antara kedua warga Negara yang berbeda ini bisa menjadi
masalah ketika ternyata kehidupan di Timor Leste lebih baik dibandingkan dengan
kondisi kehidupan di Atambua, hal tersebut akan menjadi kecemburuan warga eks
TimTim yang sampai sekarang masih jauh dari kata “Sejahtera” merasa tidak
mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Kondisi-kondisi yang seperti
itulah yang menjadikan kekhawatiran bersama akan nasionalisme yang dimiliki
masyarakat Atambua.
Wawasan
kebangsaan harus dimiliki oleh setiap warga Negara di Republik ini, bagaimana
tidak, apabila masyarakat tidak mengerti tentang bangsanya sendiri hal itu akan
menjadi ironi bagi bangsa kita. Banyak kawasan perbatasan di Indoneisa yang
kehidupan warganya jauh dari kata sejahtera, mereka hidup dengan kekurangan,
jangankan untuk bisa aktualisasi diri seperti kebanyakan dari kita. Untk
mendapatkan fasilitas pendidikan, layanan kesehatan dan aktivitas perekonomian
yang mapan sama sekali belum terjamah. Susahnya untuk mendapatkan
fasilitas itu karena susahnya akses yang harus ditempuh warga untuk untuk
mendapatkan haknya tersebut. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, warga
menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam dan mengambil hasil bumi yang
mereka peroleh dari lahan pertanian maupun perkebunan yang dimiliki warga.
Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang berada di tempat yang subur untuk
ditanami tanaman seperti jagung, pagi, sayur-sayuran, ketela dan lain
sebagainya. Untuk masyarakat perbatasan yang tinggal di daerah kering dan minim
air, tentunya warga akan kesulitan untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan
pangan.
Perhatian
pemerintah selalu dinanti rakyat Atambua, mereka rela tak pernah lelah untuk
selalu bekerja keras dan ikhlas dibawah terik sinar matahari dengan suhu 39’C
untuk bisa menghidupi kebutuhan mereka. Namun, setidaknya masyarakat Atambua
selalu bersyukur akan potensi alam yang dimiliki, lahan pertanian dengan
komoditas jagung sebagai pertanian unggulan menjadikan mayoritas warga menanam
jagung dan memang jagung sebenarnya adalah makanan pokok masyarakat Atambua.
Disamping itu padi juga ditanam di lahan warga, dan hasilnya dipanen pula untuk
dijual ataupun dikonsumsi. Namun, semua lahan pertanian itu tidak bisa
dimanfaatkan secara berlanjut, kendala yang juga dialami adalah adanya air yang
menjadi hal vital bagi kelangsungan hidup. Pada musim hujan warga bisa
memanfaatkan air untuk pengairan lahan sawah untuk ditanami padi, jagung,
sayur-sayur namun pada musim kemarau lahan yang akan mereka tanami mengalami
kekeringan. Pun begitu, masayarakat masih tetap bersyukur meskipun belum bisa
meproduksi hasil pertanian secara optimal, dilain sisi komoditas peternakan
juga menjadi salah satu komoditas unggulan yang terdapat di Atambua, kabupaten
Belu. Mereka hidup berdampingan dengan sapi, babi, kambing, ayam dan mampu
memanfaatkan sumber daya alam itu untuk dikembangkan bagi penunjang aktivitas
pereknomian warga. Warga hidup diantara ternak-ternak yang ada dan menyatu
dengan alam, sehingga mereka pun menganggap ternak yang ada sebagai teman, dan sapi-sapi
yang ada disana pun dianggap sebagai bagian dari adat istiadat.
Kondisi
masyarakat yang jauh dari kata sejahtera, bagi warga di Atambua bukan merupakan
masalah yang harus disesali. Selama ini dengan kekurangan yang ada pun
mereka masih bisa menikmati hasil alam yang masih terjaga, belum banyaknya
campur tangan dalam mengeksploitasi alam secara besar-besaran membuat Atambua
yang seperti kota mati, namun menjadi lebih hidup dengan kearifan lokal yang
ada didalam jiwa warganya. Kalau ditelusuri lebih dalam, masyarakat Atambua
memang masih memegang teguh nilai adat istiadat yang berlaku, dan adat yang ada
disana juga tidak pernah padam meskipun arus globaliasai kian derasnya
menggempur nilai lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Budaya mereka
tidak luntur, dan dengan segala kekurangan yang ada mereka masih sempat dan
pandai untuk bersyukur. Budaya masih mengingat leluhur mereka curahkan dalam
pesta dan upacara adat, tak lupa mereka gantungkan hidupnya dengan berdoa di
Gereja sebagai tempat peribadatan terkahir untuk memohon.
Sistem
budaya lokal dan nilai-nilai yang melekat sebagai kearifan lokal masih terjaga
menjadi kekuatan tersendiri dalam mengarungi kehidupan. Interaksi antar warga
pun masih terlihat dengan adanya gotong-royong (penyalur tenaga) dan kehidupan
mereka yang sebagian besar menjadi petani menjadikan pertanian sebagai mata
pencaharian sehari-hari. Menjadi petani memang pilihan utama yang harus mereka
tekuni, karena lahan yang ada disana masih cukup luas untuk menggarap sawah. Akan
tetapi, disamping itu juga mencari pekerjaan di Atambua juga tidak semudah yang
dibayangkan, tidak seperti di Jakarta. Melihat berapa pabrik yang ada disana,
rasanya akan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan, itulah yang saat ini
dialamin oleh mayoritas masyarakat. Tak pelak, banyak lulusan SMA kemudian
hanya sebagai pengangguran, hal ini menjadi masalah baru karena ketimpangan
strukur ekonomi yang ada disana, tidak seimbanganya pemerataan kesejahteraan antara
masyarakat desa dengan kota. Apabila masalah-masalah ini tidak mampu ditangani
dengan baik oleh pemerintah, maka dikhawatirkan suatu saat akan menjadi semacam
bomb waktu.
Sekali
lagi, isu nasionalisme perlu mendapat perhatian dan kepedulian kita bersama,
karena apapun yang terjadi persatuan bangsa ini perlu dijaga dengan adanya
wawasan kebangsaan disetiap jiwa rakyat Indonesia demi menjaga pertahanan di
tapal batas yang menjadi pintu masuk negri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar