Rabu, 16 April 2014

Sebuah Monolog Akhir Pekan: NASI BUNGKUS, KAPAL PERANG DAN TAKDIR TNI AL



Betapa terkejutnya saya, ketika membaca sebuah email yang masuk dari sesorang yang pernah saya kenal dan begitu dekat ketika saya turut aktif dalam aksi pemuda dan mahasiswa untuk menyuarakan tuntutan reformasi pada 1998 dahulu. Enam belas tahun, waktu yang cukup panjang untuk sebuah persahabatan.

Kala itu, ketika kelompok kami memilih untuk tetap berdiam dalam gedung MPR, waktu sudah menunjukan hampir jam 11 malam. Jakarta yang panas, sudah mulai terasa dingin. Sekelompok Marinir mendatangi kami. Mereka berseru; Indonesia..! Yang kami sambut dengan pekikan; Merdeka..! Seseorang yang paling senior kemudian menyapa kami dan menawarkan nasi bungkus dan teh panas. Meski perut saya tidak terlalu lapar, saya paksakan untuk menyantapnya agar tidak mengecewakan hati si pemberi. Kami bersila di atas lantai yang mulai terasa sangat dingin.

Disela-sela acara makan bersama, kami juga tidak lupa bertukar pikiran tentang harapan bangsa Indonesia di masa depan. Orang-orang marinir ini ternyata sangat menguasai tentang hukum, filsafat, ekonomi, seni dan budaya. Bahkan tak jarang merekalah yang memulai sebuah topik pembicaraan. Karena pemikiran kita connected, maka tak terasa waktu pun sudah berangsur menuju pagi. Akhirnya kami disarankan untuk beristirahat sebelum waktu subuh tiba.

Teman-teman saya langsung tertidur pulas, tapi sayang, mata ini susah terpejam. Pikiran saya menerawang kemana-mana, hingga akhirnya lamunan saya terhenti ketika seseorang menepuk bahu saya. Dia menyodorkan rokok, tapi saya tolak karena saya bukan perokok. Dia menyampaikan ketertarikannya pada gaya saya saat berdiskusi tadi. Dia meramalkan bahwa setelah aksi unjuk rasa berhenti, saya akan menduduki jabatan penting di salah satu instansi pemerintah. Saya menggeleng, berusaha untuk mengembalikan ramalannya. Jujur, saya gak pernah bercita-cita jadi pegawai negeri. Alasannya sangat sederhana, saya tidak punya pigur seorang PNS dalam keluarga besar kami. Jadi wajar dong jika saya menanggapinya dengan skeptis. Setelah itu, ia pamit untuk kembali ke pasukan sambil menyelipkan sehelai kartu nama saat kami bersalaman. Wow..! Ternyata dia punya posisi yang sangat bagus dalam kesatuan elit marinir kita. Hubungan kami masih terus berlanjut, meskipun akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia saat aksi unjuk rasa telah menemui titik ujungnya.

Terima kasih dan selamat jalan pak ‘S’, semoga selamat sampai di Jakarta, dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Amien..! Jika nanti anda membaca JKGR dan menemukan topik yang mirip dengan apa yang baru saja kita bincangkan, maka pastinya sayalah yang memposting artikel itu. Hehehe..! Maaf jika saya lancang, habis anda keukeuh ngumpetin rahasia KS kita yang satu itu. Tenang, anggaplah saya sebagai teman yang suka usil. Sesuatu yang kita sepakati sebagai rahasia, saya akan tetap menjaganya, meskipun nyawa saya taruhannya. Baiklah, saya akan teriak, “Yes..! Kita sudah punya KS Kilo Klass..! Terima kasih pak, atas segala ‘hoaxnya’. Hehehe..! Mulai sekarang saya akan bisa tidur dengan tenang dan penuh bangga.

Tepat pada 5 April 2014 yang baru lalu, Kasal Dr. Marsetio telah meresmikan salah satu naval base paling canggih di Indonesia, yakni di teluk Palu. Beberapa kapal selam dengan nomor lambung 401 dan 402 yang kita miliki telah menjadi penghuni sarang hantu laut Indonesia paling dalam. Jalesveva Jayamahe. Kami bangga menjadi bagian dari NKRI. Apalah artinya angka? Hahaha..! Sebuah keputusan cerdas yang amat cerdik, dengan membiarkan angka itu tidak berkembang biak. Kapal selam bukanlah kapal yang dibangun untuk suguhan mata para military fansboy seperti saya. Identitas sejati sebuah kapal selam bukanlah terletak pada tulisan angka yang tertera pada dinding lambung kapal, tetapi ada pada sistem yang tertanam dalam kapal itu. Alasan nan sederhana tetapi mampu memenuhi prasyarat logika.

Tahun ini, kita akan kedatangan begitu banyak alutsista canggih, yang bahkan saya sendiri tidak yakin bahwa barang itu akan bisa terpublish semuanya. Gak apa-apa, cukup telinga ini saja yang mendengarnya. Senang, tenang dan bangga luar biasa. Salah satu alutsista canggih yang paling gak sabar saya tunggu adalah fregate Bung Tomo Class atau Usman Harun. Sebelumnya, jujur saya agak khawatir dengan kemampuan kapal canggih ini. Namun sekarang kerisauan hati saya itu, musnah sudah. Isu instabilitas dan lemahnya sistem senjata, ternyata tidak separah yang kita kira.

Kapal ini bukanlah kapal sembarangan. Jika diibaratkan dengan mobil, maka kapal ini bukan sekedar mobil sedan, namun lebih dari itu, KRI Bung Tomo Class adalah sebuah kapal sekelas mobil sport Ferari atau Lamborghini, meskipun bukan sekelas mobil Bugati Veyron. Keengganan sang produsen untuk menciptakan fregate sekelas mobil Bugati Veyron, adalah alasan utama mengapa sang Sultan ingin melego kapal ini. Adalah US Navy yang tidak menghendaki kapal ini menyamai kemampuan kapal mereka. Sang Sultan murka, namun beruntung masih mampu mengambil sebuah keputusan dengan baik dan under control. Dia tawarkan barang itu pada Malaysia dan Vietnam, yang notabene adalah dua negara Asean yang sedang berkonflik di LCS, dengan harga sebesar total biaya yang telah dikeluarkan oleh sang Sultan untuk mengakuisisi barang itu. Selain harganya yang tergolong sangat mahal. Protes keberatan datang dari US dan Britain, karena mereka khawatir bahwa konflik LCS akan berubah menjadi sebuah arena pertempuran terbuka.

Kita tahu bahwa Malaysia dan Vietnam sama-sama sedang meningkatkan kemampuan sarana tempur lautnya di wilayah LCS. Pembelian Gowind class menjadi sebuah keputusan politis dan populis yang paling akhir. Mengapa TLDM menolak Sigma dan Meko? Alasannya adalah karena TLDM ingin menyelaraskan system yang ditawarkan Thales Perancis terhadap armada tempurnya dimasa yang akan datang. TLDM ingin total membangun sebuah armada perang lautnya dengan berkiblat pada Perancis. Selain itu, DCNS juga menawarkan sebuah status dan prestise bagi Malaysia sebagai user Gowind Class yang pertama, dan memberikan kesempatan pada perusahaan galangan kapal Malaysia untuk membangun Gowind Class yang memiliki DWT lebih besar dari Meko Class yang sudah ada dan juga lebih besar dari Sigma Class yang dipesan oleh TNI AL. Selain itu hangar helicopternya juga dirancang untuk mampu memuat UAV, RMN Super Lynx Mk300s, Fennec AS555s dan RMAF EC725 Cougars. Dan sebagaimana ukurannya yang lebih besar, kapal ini juga dikengkapi dengan VLS 16 cells.

Kembali pada kapal perang Bung Tomo Class. Mulai saat ini, marilah kita berhenti mempertanyakan kinerja intelejen kita. Karena nyatanya kapal ini bisa menjadi bagian dari TNI AL juga tak terlepas dari peran intelejen kita. Brunei adalah negara kecil di Asia Tenggara yang sangat diandalkan oleh militer US. Selain memiliki kondisi alam tropis yang sangat baik untuk dijadikan media latihan tentara US, Brunei juga merupakan salah satu sapi perahan Amerika. Tak sedikit perang yang dilakoni Amerika, mendapatkan sumber dana dari Brunei. Dalam peta militer US, Singapore dan Australia adalah pusat penempatan fasilitas perang mereka, sedangkan Philipine sebagai pusat pemukiman tentara dan Brunei menjadi wilayah refueling semua armada tempur US. Ketika Philipine memilih untuk beraliansi dengan Vietnam dalam menghadapi claim China di kepulauan Spratly, sejatinya Malaysia sudah mencoba mengajak Brunei untuk turut bergabung dengan armada tempurnya dengan dalih untuk menjaga stabilitas kawasan.



Ilustrasi; Teluk Palu
Selama ini, tentara Brunei memang telah biasa tergabung dalam militer Malaysia dalam setiap misi perdamaian di bawah naungan PBB. Namun kali ini, Brunei dengan tegas menolak, dengan alasan bahwa PBB belum turun tangan. Jika Brunei bersedia bergabung bersama Malaysia, maka Malaysia akan meminta kompensasi kapal Ragam Class tersebut untuk turut menjaga wilayah yang dipersengketakan. Untuk menjaga hubungan baik yang telah terjalin lama dengan Malaysia, maka Brunei memilih untuk melepas kapal ini pada Indonesia, yang di mata Brunei terlihat begitu netral, dan..! Konon pihak Brunei sangat sadar bahwa hanya Indonesia yang bisa menghadapi China. Karena itu pihak Brunei sangat menginginkan militer Indonesia lebih kuat. Selain itu juga, jika kapal tersebut menjadi milik Indonesia, gak akan ada tetangga yang berani macam-macam atas keputusan yang diambil sang Sultan.

Keyakinan Sultan sehingga menjadi seperti ini, tak lain adalah berkat peran intelejen, bukan peran dari seorang broker, apalagi pedagang kaki lima. Kali ini memori saya terbawa kembali pada kemampuan diplomasi pak ‘S’ ini, saat kami menikmati nasi bungkus di gedung DPR/MPR. Jangan-jangan, pak S inilah yang telah berhasil mempengaruhi para pejabat militer dan kesultanan Brunei. Semoga..! (by: yayan@indocuisine/Kuala Lumpur, 15 April 2014).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar