Parade Kesiap Siagaan Marinir |
Penghebatan dan pembagusan kekuatan pertahanan RI di era
SBY yang akan berakhir beberapa bulan ke depan, akan “dipuncakpasskan” dengan
pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Model pertahanan
ini adalah komando integrasi matra AD, AL dan AU dalam ruang wilayah
masing-masing dengan kemampuan reaksi cepat bersengat lebah jika ada yang
berani mengancam dan mengganggu teritori.
Konsep pertahanan seperti ini sejatinya akan mengurai Java
Centris dalam pola pemusatan kekuatan militer RI. Lihat saja selama ini dimana sih alamat
Divisi I dan II Kostrad. Lihat saja
dimana lokasi pangkalan utama AL dan komando kekuatan Marinir berada. Meski beberapa skuadron jet tempur ada di luar
Jawa tetap saja pergelaran kekuatan militer dan alutsista ada di jantungnya Indonesia,
pulau Jawa. Bahkan seluruh MBT Leopard
dan Tank Marder yang akan datang dalam waktu dekat masih juga diletakkan di Jawa.
Mengingat luasnya wilayah tanah air kita dan untuk
merespon cepat pengamanan teritori Indonesia, sangat dibutuhkan model
pertahanan wilayah gabungan. Kogabwilhan berbeda dengan Kowilhan yang
dibubarkan pertengahan tahun 80an.
Kowilhan lebih berorientasi pertahanan darat meski membawahi Kodau dan
Daeral di wilayahnya. Maklum saja jumlah
armada kapal perang hanya berkisar 80an, Marinir hanya 3 batalyon dan alutsista
udara semacam pesawat tempur saat itu masih ditumpuk di Jawa dan hanya memiliki
3 skuadron.
Ada pemikiran bahwa lebih baik militer RI memperbanyak
dulu jumlah alutsistanya baru kemudian membentuk Kogabwilhan. Mana lebih baik
membangun rumahnya lebih dulu baru membeli perabotnya atau membeli perabotnya
dulu baru membangun rumahnya. Sebenarnya kalau kita memandang suasana panen raya
alutsista tahun ini dan suasana hiruk pikuk di MEF II (2015-2019) nanti maka
sudah selayaknya kita bangun rumahnya lebh awal. Karena jika Kogabwilhan
dibangun tahun ini maka isian perabotnya dalam rentang 5-10 tahun akan segera
terisi dan terdistribusi.
Dengan berasumsi bahwa angggaran pembelian alutsista di
MEF II mencapai US $ 20 milyar maka isian alutsista selama lima tahun ke depan diyakini
akan mampu menampung kebutuhan perabotan rumah Kogabwilhan meski belum ideal.
Jika diprediksi target pemenuhan kebutuhan alutsista Kogabwilhan adalah sampai
tahun 2024 (MEF III) maka kebutuhan perabotan ideal itu akan terpenuhi. Salah satu indikator pendukungnya yang mesti
dipenuhi adalah peningkatan belanja senjata alutsista dari US $15 milyar di MEF
I menjadi US $ 20 milyar di MEF II dan US $ 28 milyar di MEF III. Angka-angka ini sangat realistis sejalan dengan
perjalanan peningkatan kekuatan ekonomi dan kesejahteraan kita.
Squadron Shukoi 27/30 Indonesia |
Ilustrasi; Armada Laut Indonesia |
Ilustrasi; Reaksi Cepat Pasukan TNI-AD |
Itu sebabnya pesan jelas untuk pemerintahan yang baru
nanti jangan mematahkan tunas yang sudah tumbuh. Jangan memutuskan skenario MEF apalagi menganggap
MEF itu hanya menghabiskan anggaran negara.
Justru yang mulai dipikirkan dan dieksekusi sekarang adalah mengurangi
subsidi energi yang jumlahnya sudah mendekati titik didih alias membahayakan
karena membebani Purchase Power bangsa ini. Kondisi dinamis kawasan, perebutan
sumber daya energi fosil dan persaingan hegemoni AS versus Tiongkok sudah
bermain di panggung Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan. Tidak boleh ada inkonsistensi dalam program
MEF.
Natuna yang diyakini akan masuk Kogabwilhan I membutuhkan
1 skuadron jet tempur. Demikian juga
Biak yang segala fasilitasnya telah lebih dulu ready for use harus segera diisi
dengan 1 skuadron jet tempur untuk mengamankan wilayah udara timur NKRI. Tak ketinggalan Kupang juga harus disediakan
1 skuadron jet tempur untuk “mengimbangi” lalulintas militer di seberang
halaman depannya, Darwin. Dengan begitu
kebutuhan perkuatan matra udara pada MEF II minimal ada tambahan 3 skuadron
disamping pergantian skuadron jet tempur F5E Tiger.
Demikian juga dengan matra laut. Tambahan pasti 3 kapal selam Changbogo di MEF
II jelas masih kurang. Bukankah pada
periode itu 2 kapal selam Cakra Class sudah semakin sepuh. Kita ingin menyampaikah unjuk rasa kuat
(sembari mata melotot), jangan mencla mencle dalam program paralelisasi
pengadaan kapal selam. Untuk rentang
waktu sepuluh tahun ke depan kita masih perlu kapal selam dari kelas selain
Changbogo untuk menghantarkan kekuatan laut berlabel disegani. Termasuk juga penambahan kapal kombatan
permukaan kelas korvet dan fregat untuk pengisian armada wilayah.
Aktif mengirimkan UN Peace Keeping |
Pulau Jawa tetap merupakan instrumen utama pertahanan.
Apalagi jika melihat semakin jelasnya perkuatan persekutuan militer negara
asing di Darwin, Christmas dan Cocos yang semua lokasi itu dekat dengan
Jawa. Kogabwilhan Jawa tentu adalah
segala-galanya. Itu sebabnya jika
skuadron F5E diganti dengan jet tempur kelas berat Sukhoi SU35 akan menjadi
payung udara utama pulau Jawa. Ancaman
terberat Jawa berasal dari selatan. Maka selain Sukhoi SU35 harus ada perkuatan
armada laut berkualifikasi fregat dan destroyer serta kapal selam laut dalam
yang mengawalnya.
Itulah gambaran perkuatan alutsista MEF II sembari kita
membangun struktur Kogabwilhan tahun ini. Gambaran itu saat ini sudah berbentuk
patron dan potongan kain. Tinggal kita
menjahitnya satu persatu sehingga lima tahun ke depan kita sudah bisa
memakainya dan “memamerkannya” pada tetangga sebelah. Maksudnya
kita sudah punya baju baru untuk hulubalang yang layak sandang dan layak
pandang. Karena sudah layak sandang dan layak pandang tentu penampilan baju
militer ini akan mampu memberikan energi dahsyat kekuatan diplomasi RI ke
segala arah. Kecerdasan diplomasi dengan
baju militer yang kuat diniscayakan akan mampu meminimalisir niat jahat
kekuatan asing terhadap kue teritori yang bernama NKRI.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar